Pemimpin baru organisasi massa-Muslim terbesar di Indonesia itu mengatakan dia tidak berniat untuk memasuki medan politik atau terseret ke dalam politik komunal yang telah memecah belah orang-orang di negara yang beragam agama dalam beberapa tahun terakhir.
Yahya Cholil Staquf, yang dijuluki “Gus Yahya,” terpilih sebagai ketua kelompok Nahdlatul Ulama yang berpengaruh pada akhir Desember, ketika ia mengalahkan petahana dua periode Said Aqil Siradj dan tiga kandidat lainnya dalam pemungutan suara selama kongres ke-34 NU.
“Saya sudah menyatakan sejak awal bahwa saya tidak ingin menjadi calon presiden atau wakil presiden, saya juga tidak ingin seseorang dari NU sebagai calon presiden atau wakil presiden. Dengan begitu, NU tidak lagi terlibat politik identitas apapun,” kata Yahya kepada BeritaBenar dalam wawancara pekan lalu.
Dengan “politik identitas,” dia mengacu pada garis komunal yang memecah belah yang akhir-akhir ini menyusup ke politik di negara mayoritas Muslim itu. Indonesia telah lama dikenal dengan Islam moderat dan toleransi umum terhadap agama minoritas.
NU, yang mengklaim memiliki 90 juta anggota, untuk sebagian besar keberadaannya, telah dikenal sebagai lembaga berbasis agama yang moderat dan lebih progresif.
Dalam beberapa kesempatan sebelum kongres NU, Yahya mengungkapkan tekadnya untuk mengembalikan idealisme, semangat inklusivitas, dan kemanusiaan yang dimiliki oleh Almarhum Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, yang – sebagai mendekati seratus tahun kelahiran NU – tetap menjadi salah satu tokoh yang paling dihormati dalam sejarahnya.
Gus Dur, ketua lama NU, kemudian menjabat sebagai presiden Indonesia, negara terpadat di Asia Tenggara, pada 1999-2001, selama tahun-tahun awal transisinya ke demokrasi setelah beberapa dekade pemerintahan otoriter. Yahya, 55, bertindak sebagai juru bicara kepresidenan di bawah Gus Dur.
Baru-baru ini, Yahya tetap dekat dengan kursi kekuasaan ketika ia diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) selama masa jabatan pertama Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Menurutnya, NU harus berperan dalam menyembuhkan luka dan polarisasi di masyarakat akibat politik identitas, yang dipertontonkan jelang Pilpres 2019.
Ma’ruf Amin adalah pasangan Jokowi dalam pemilihan itu saat menjabat sebagai wakil presiden.
Namun pada tahun 2017, Ma’ruf termasuk di antara mereka yang menyerukan pencopotan dari jabatan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, Gubernur Jakarta yang merupakan anggota minoritas Tionghoa-Kristen, atas dugaan komentar penistaan yang dibuat Ahok dalam kampanye pemilihan kembali. . Kembali pada tahun 2017, Ma’ruf adalah ketua NU dan dia duduk di Majelis Ulama Indonesia (MUI), badan ulama dan ulama terkemuka bangsa.
Setahun sebelum pemilihan gubernur Jakarta, Front Pembela Islam (FPI), sebuah kelompok Muslim konservatif yang sejak itu dilarang oleh pemerintah pusat, memimpin protes massa di jalan-jalan ibu kota negara menuntut penangkapan dan penuntutan “Ahok” atas tuduhan penistaan.
Pada Mei 2017, pengadilan negeri di Jakarta memvonis Ahok penodaan agama dan menjatuhkan hukuman dua tahun penjara. Ahok kemudian kalah dalam pemilihan gubernur 2017.
Beberapa orang Indonesia memandang putusan itu bermotif politik dan menduga bahwa hakim menyerah pada tekanan dari kelompok Islam konservatif.
Yahya mengatakan bahwa kelompok Islam fundamentalis seperti FPI dan Hizbut Tahrir, organisasi politik pan-Islam yang dibubarkan pada 2018, tidak sepenuhnya bersalah karena menginginkan Indonesia, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, untuk mematuhi konsep khilafah. .
“Kami tahu mereka memiliki alasan politik untuk pilihan mereka menjadi radikal atau fundamental. Kita harus libatkan mereka, kita harus berusaha menyadarkan mereka bahwa pilihan politik mereka sudah tidak realistis lagi,” katanya kepada BenarNews dalam wawancara 45 menit melalui telepon pada 31 Desember.
“Kita tidak bisa lagi memaksakan kekhalifahan universal dalam konteks realitas modern saat ini.”
Ia juga menyatakan optimisme bahwa NU dapat menjadi mediator dengan mencari kerangka bersama untuk mengurangi, jika tidak menahan, radikalisme dan fundamentalisme di tanah air.
“Jelas caranya adalah dengan gigih dan kampanye sekeras mungkin untuk mencegah politik identitas. Kita harus mendorong para pemangku kepentingan politik untuk membangun konsensus bahwa mereka tidak akan memanfaatkan identitas, terutama identitas agama, sebagai senjata politik,” kata Yahya.
Ribuan orang mengikuti aksi damai menentang dugaan pernyataan penistaan agama yang dibuat oleh Gubernur Jakarta, di Jakarta Pusat, 4 November 2016. [Tria Dianti/BenarNews]
kontroversi israel
Pada tahun 2018, Yahya memicu kontroversi publik di dalam negeri ketika ia menerima undangan dari Dewan Hubungan Luar Negeri Israel (ICFR) untuk memberikan pidato di Yerusalem tentang solusi konflik agama.
Saat itu, Yahya masih menjadi anggota Wantimpres. Publik Indonesia mengkritiknya atas undangan tersebut karena dianggap telah merusak dukungan Indonesia kepada rakyat Palestina.
Namun Yahya mengatakan dia melakukan perjalanan dalam kapasitas pribadi dan sebagai Muslim biasa yang mendambakan konflik Palestina-Israel berakhir, dan bukan sebagai wakil pemerintah atau NU.
Pada awal 2020, dalam pertemuan para pemimpin dari berbagai agama di Vatikan, Yahya mengatakan para pemimpin agama dunia telah sepakat untuk bersama-sama memikirkan bagaimana agama berfungsi dan merespons konflik di abad ke-21.
“Agama juga harus menemukan fungsi barunya. Ini yang pertama dan ini butuh proses tersendiri,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Menurutnya, konflik Israel-Palestina perlu diselesaikan secara mendasar, yaitu melalui kejelasan batas wilayah sesuai dengan hukum internasional. Selama batas-batas tidak dibuat jelas, akan sulit bagi Israel untuk mendapatkan pengakuan politik, termasuk menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia, katanya.
“Banyak dari batas-batas teritorial ini hanyalah klaim sepihak oleh Israel dan negara-negara Arab dan Islam di sekitarnya. Ini harus diselesaikan terlebih dahulu. Jadi kalau misalnya Indonesia bilang sedang normalisasi hubungan dengan Israel, yang [Israel] Apakah itu? Batas-batasnya harus jelas agar tidak menimbulkan masalah baru,” katanya.
Wawancara dengan ketua NU yang baru berlangsung beberapa hari setelah muncul berita yang mengatakan bahwa Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, selama pertemuan dengan pejabat Indonesia di Jakarta bulan lalu, telah membahas prospek normalisasi hubungan Indonesia dengan Negara Yahudi.
Indonesian President Joko “Jokowi” Widodo greets U.S. Secretary of State Antony Blinken in Jakarta, Dec. 13, 2020. [Handout Presidential Palace via AFP]
Yahya juga memiliki rekam jejak yang terbukti di dunia internasional.
Pada tahun 2014, ia terdaftar sebagai salah satu pendiri Bayt Ar-Rahmah, sebuah lembaga keagamaan berbasis di California yang mempromosikan pesan utama Islam sebagai sumber cinta dan kasih sayang universal.
Ia dipercaya menjadi anggota panel ahli perumus kebijakan di US-Indonesia Interfaith Executive Council, yang dibentuk setelah kesepakatan ditandatangani antara Presiden Barack Obama dan Jokowi pada Oktober 2015.
Yahya juga ditunjuk sebagai utusan gerakan pemuda Nahdlatul Ulama dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kendaraan politik NU, untuk menjalin jaringan politik di dunia internasional dan di Eropa.
Ia menilai Indonesia harus berkontribusi membangun tatanan dunia sesuai amanat UUD 1945. Ia juga berharap kegiatannya dapat memproyeksikan citra Islam yang damai dan moderat di Indonesia.
“Saya kira pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan yang lebih berani dengan agenda konkrit dalam menyelesaikan permasalahan yang ada, hingga menembus politik internasional,” ujarnya.
“[T]o membela siapa saja yang diperlakukan tidak adil, untuk mencari masa depan yang lebih baik bagi semua orang, termasuk saudara-saudara kita di Palestina atau saudara-saudara kita [the] Uyghur di Cina. Bahkan termasuk kelompok non-Muslim yang juga menderita penganiayaan di masyarakat mayoritas Muslim.”
Yahya mengatakan, meski kini menjadi Ketua NU, Bayt Ar-Rahmah akan tetap beroperasi seperti biasa, karena ia tetap harus menjalankan misi kemanusiaan Islamnya, termasuk mengkampanyekan penghapusan penggunaan istilah “kafir” di doktrin Islam modern.
“Status non-Muslim atau kafir adalah objek simbolis untuk permusuhan, diskriminasi dan penganiayaan,” katanya.
“Kita tidak bisa lagi mentolerir atau membiarkan kerentanan seperti itu karena dunia telah menjadi satu, lingkungan yang terintegrasi, dan kita harus hidup berdampingan,” kata Yahya kepada BeritaBenar.
Seorang perwira militer membantu Presiden Indonesia Abdurrahman “Gus Dur” Wahid turun setibanya di sebuah pangkalan udara di Jakarta, 29 Juni 2001. [AFP]
‘Perlu didukung’
Syafiq Hakim, dosen studi Islam di Universitas Islam Internasional Indonesia, menyambut baik niat Yahya untuk menghidupkan kembali visi dan misi Gus Dur, tetapi mengatakan ini akan membutuhkan dukungan dari semua pihak.
“Kalau dia tidak mau terjun ke politik dengan menjadi capres atau cawapres, sepertinya dia memang ingin mengembalikan nilai-nilai Gus Dur. Tapi tentu kita tidak tahu apakah itu bisa diterapkan di NU. Karena kalau NU itu berlapis-lapis dan tidak semua ulama memiliki pandangan yang terbuka,” kata Syafiq kepada BeritaBenar, Kamis.
Menurut Syafiq, jika Yahya berhasil menghidupkan kembali nilai-nilai progresif lama NU, ormas-ormas lain dengan beragam perspektif dan upaya kemungkinan akan mengikuti, termasuk Muhammadiyah, organisasi Muslim terbesar kedua di Indonesia.
“Itu adalah agenda kerja yang menurut saya menantang dan membutuhkan dukungan, meskipun saya tidak tahu bagaimana hasilnya. Namun, saya sangat setuju dengan agenda yang diusulkan Gus Yahya, dan dia harus mengedepankannya, sebagai pemimpin ormas terbesar yang melindungi kelompok minoritas,” katanya.
PKB, partai politik yang terkait dengan Nahdlatul Ulama, didirikan untuk menyuarakan aspirasi organisasi dalam menanggapi krisis politik selama era reformasi, yang dimulai pada tahun 1998 dengan jatuhnya Presiden Suharto, diktator lama.
Gus Dur awalnya menolak gagasan itu karena tidak ingin NU meninggalkan khittahnya dengan mencampurkan urusan agama dengan politik. Namun, Gus Dur akhirnya mengalah karena melihat ini sebagai satu-satunya cara untuk melawan Golkar, partai yang terkait dengan Suharto, penguasa otoriter dan mantan panglima militer.
Menurut pengamat lain, sudah sepantasnya Yahya ingin menjauhkan NU dari politik di Indonesia. Yon Machmudi, pakar politik Islam di Universitas Indonesia, berharap agar Yahya tidak diarahkan untuk memobilisasi massa NU yang banyak mengikuti kontes politik apa pun.
“Jika dia tetap pada jalur agendanya, itu akan menjadi terobosan besar … dengan kembali ke amanat dasar NU sebagai organisasi Islam keagamaan di luar perebutan kekuasaan politik,” kata Yon kepada BenarNews.
Jika NU dipaksa terlibat dalam politik, ini akan mengurangi nilai-nilai inti dan misi organisasi dalam membantu memperkuat masyarakat, katanya.
“Saya kira pernyataan beliau yang akan menjauhkan NU dari politik adalah baik dan penting, sehingga beliau dapat mengambil keputusan dengan bijak dalam pilihan politik tanpa harus menjadi capres atau cawapres, yang berpotensi menimbulkan gesekan di tingkat akar rumput. Saya pikir ini adalah situasi yang ideal, ”kata Yon.