Harga representasi di Indonesia

Tanyakan kepada pemilih Indonesia pada umumnya apa yang mereka yakini diperlukan untuk menjadi kandidat legislatif yang menang dan kemungkinan besar Anda akan mendapat jawaban: “harus punya duit”—“[they] harus punya uang.”

Intuisi para pemilih ini didukung oleh banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kampanye politik di Indonesia mahal—dan biayanya terus meningkat. Untuk memperoleh peluang dalam pemilihan legislatif, calon politisi harus membayar gaji tim kampanye yang besar, membeli perlengkapan kampanye dalam jumlah besar, dan membagikan amplop berisi uang tunai kepada para pemilih pada hari pemilihan. Biaya ini dapat mencapai lebih dari US$50.000 untuk seorang kandidat di tingkat kabupaten atau kota; untuk parlemen nasional, calon politikus dapat menghabiskan lebih dari US$2 juta. Kandidat individu, bukan partai mereka, yang menanggung biaya tersebut, dan kegagalan memenangkan pemilihan dapat menyebabkan kebangkrutan finansial. Mengingat keuntungan nyata yang diberikan kekayaan pribadi kepada kandidat dalam sistem seperti itu, tidak mengherankan jika semakin banyak pengusaha dan oligarki yang terjun ke dunia politik.

Semua kenyataan ini terlihat pada bulan Februari 2024, ketika Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum legislatif kota, kabupaten, provinsi, dan nasional bersamaan dengan pemilihan presiden. Para kandidat legislatif yang kami ajak bicara menggambarkan kampanye tersebut sebagai “brutal” secara finansial, dengan jumlah uang yang sangat besar yang dihabiskan oleh puluhan ribu kandidat sehingga mendorong beberapa orang untuk menyimpulkan bahwa pemilihan umum tahun ini adalah yang termahal dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Mengingat biaya kampanye yang terus meningkat, tidak mengherankan jika para pemilih percaya bahwa hanya orang kaya yang dapat mencalonkan diri untuk jabatan publik. Namun, seberapa kayakah seseorang untuk memenangkan kursi di parlemen Indonesia? Dan apakah beberapa kandidat membutuhkan lebih banyak uang daripada yang lain? Sejauh ini, para peneliti belum memiliki jenis data yang dapat secara sistematis menyelidiki dampak kekayaan pribadi kandidat legislatif dan pengeluaran kampanye terhadap peluang keberhasilan mereka dalam pemilu. Untuk mengisi kesenjangan ini, kami menggunakan pemilu 2024 untuk melakukan survei unik terhadap para kandidat yang untuk pertama kalinya memungkinkan kami menguji sejauh mana kekayaan menghasilkan representasi di badan legislatif daerah Indonesia. Kami juga menyelidiki sejauh mana uang mengimbangi faktor-faktor yang dianggap dapat merugikan peluang keberhasilan kandidat. Apakah kandidat yang menghadapi “hambatan demografis”—misalnya, perempuan—membutuhkan lebih banyak uang untuk mengimbangi kerugian elektoral mereka? Di sisi lain, apakah beberapa kandidat membutuhkan lebih sedikit uang, seperti mereka yang memiliki koneksi dinasti, yang dapat menggunakan nama dan jaringan mereka untuk keuntungan elektoral?

Data

Untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan ini, kami menggunakan survei panel pertama yang pernah dilakukan terhadap para calon legislatif di Indonesia. Dimulai pada bulan November 2023, kami bekerja sama dengan Saiful Mujani Research and Consulting untuk mensurvei sampel acak para calon yang mencalonkan diri untuk kursi di DPRD tingkat kota dan kabupaten (DPRD Tingkat II). Karena pertimbangan kelayakan, kami memberlakukan beberapa pembatasan pada kumpulan calon, membatasi sampel kami pada calon-calon yang berada di tiga posisi pertama dalam daftar partai mereka, dan yang mencalonkan diri dengan partai-partai yang memperoleh suara di atas 1% per 1 Oktober 2023. Kami juga mengecualikan calon yang mencalonkan diri di Papua dan Maluku karena kekhawatiran tentang biaya yang terkait dengan survei responden di daerah-daerah yang sulit dijangkau.

Survei kami bersifat panel, artinya kami mencoba mensurvei 800 kandidat yang sama sebanyak tiga kali: dua kali sebelum pemilihan, pada bulan November 2023 dan Januari 2024, serta sekali setelah pemilihan, pada bulan April 2024. Pada akhirnya, kami memperoleh tingkat kontak ulang sebesar 81%, artinya sekitar 650 kandidat disurvei dalam ketiga gelombang tersebut. Kami yakin bahwa data ini menawarkan gambaran yang sangat rinci tentang perubahan sikap dan perilaku kandidat legislatif selama kampanye mereka.

Temuan

Kami menyusun beberapa fakta bergaya tentang hubungan antara kekayaan dan representasi di Indonesia, yang mencirikan fenomena yang lebih besar yang ingin kami jelajahi dalam serangkaian artikel terkait menggunakan kumpulan data baru ini. Pertama, pada Gambar 1, kami menemukan hubungan linier yang mencolok antara kekayaan dan keberhasilan pemilu (garis merah putus-putus mewakili peluang kemenangan secara keseluruhan, yaitu ~20%). Semakin kaya kandidat, semakin besar kemungkinan mereka memenangkan kursi legislatif. Untuk menyatakan temuan ini secara konkret: dibandingkan dengan kandidat termiskin (mereka yang berpenghasilan kurang dari Rp5 juta per bulan), kandidat terkaya (mereka yang berpenghasilan lebih dari Rp30 juta per bulan) memiliki peluang lima belas kali lebih besar untuk memenangkan pemilihan.

Gambar 1: hubungan antara pendapatan kandidat dan kemungkinan kemenangan

Karena sebagian besar kampanye di tingkat lokal di Indonesia didanai sendiri, kandidat kaya menghabiskan lebih banyak uang daripada kandidat miskin. Namun, untuk apa kandidat kaya menghabiskan uang mereka agar memperoleh peluang kemenangan yang lebih tinggi?

Survei kami tidak mengungkap adanya perubahan dalam komposisi pengeluaran mereka: kandidat lokal yang lebih kaya terus menghabiskan sejumlah besar uang untuk baliho (spanduk) dan pembelian suara. Dengan kata lain, kandidat yang lebih kaya tidak cenderung mengadopsi strategi kampanye yang berbeda dan lebih canggih. Sebaliknya, yang kami temukan adalah bukti bahwa kandidat yang lebih kaya mampu membangun tim sukses yang lebih besar. Gambar 2 menunjukkan ukuran tim kampanye kandidat menurut pendapatan bulanan mereka, yang menunjukkan bahwa kandidat yang lebih kaya mampu menelurkan jaringan patronase yang tiga kali lebih besar daripada penantang mereka yang lebih miskin.

Gambar 2: hubungan antara pendapatan kandidat dan ukuran tim kampanye

Temuan-temuan ini tidak akan mengejutkan para pengamat politik Indonesia. Namun, minat utama kami dalam proyek ini adalah untuk memahami sejauh mana uang berperan dalam pemilihan umum Indonesia. Dalam hal ini, besarnya temuan kami layak untuk dicermati lebih jauh. Uang mengerdilkan prediktor keberhasilan konvensional lainnya: sebagai perbandingan, pertimbangkan bahwa pria hanya dua setengah kali lebih mungkin menang daripada wanita; mereka yang memiliki gelar sarjana tiga kali lebih mungkin menang dibandingkan dengan mereka yang hanya memiliki ijazah sekolah menengah atas; dan, kandidat tertua hanya dua kali lebih mungkin menang daripada yang termuda.

Singkatnya, keuntungan yang dinikmati oleh kandidat kaya melampaui hampir semua fitur lain yang dianggap dapat memprediksi keberhasilan pemilu. Kami mengeksplorasi hasil ini secara lebih mendalam pada Gambar 3 dan 4. Ambil contoh gender, pada Gambar 3. Pria kaya umumnya memiliki kinerja lebih baik daripada wanita kaya. Dan pria cenderung lebih kaya daripada wanita. Namun, wanita kaya memiliki kinerja jauh lebih baik daripada pria yang lebih miskin. Misalnya, seorang wanita yang melaporkan penghasilan lebih dari Rp30 juta per bulan memiliki peluang keberhasilan sebesar 42%, yang kira-kira delapan kali lebih besar daripada peluang keberhasilan sebesar 5% yang dilaporkan oleh seorang pria yang berpenghasilan kurang dari Rp5 juta per bulan.

Gambar 3: hubungan antara pendapatan kandidat dan kemungkinan kemenangan, berdasarkan jenis kelamin

Pada Gambar 4, kami melakukan analisis analog dengan melihat status kandidat sebagai anggota dinasti politik (atau bukan). Dengan terpilihnya Gibran Rakabuming Raka baru-baru ini sebagai wakil presiden dengan tiket Prabowo Subianto, analis politik Indonesia benar-benar memperhatikan pengaruh nepotisme dalam menyusun politik elektoral. Namun, Gambar 4 mengungkapkan bahwa status seseorang sebagai dinasti sebenarnya tidak penting jika dilihat dari sudut pandang keuntungan elektoral berupa kekayaan. Memang, mungkin saja dinasti dan petahana berkinerja lebih baik hanya karena mereka lebih kaya daripada pesaing mereka—bukan karena keuntungan inheren yang diberikan oleh jaringan politik yang datang dengan posisi tersebut. Gambar 5 menunjukkan, konsisten dengan ini, bahwa dinasti kaya memiliki prospek elektoral yang setara dengan non-dinasti kaya—dan bahwa hubungan ini berlaku di seluruh distribusi pendapatan.

Gambar 4–Hubungan antara Pendapatan Kandidat dan Probabilitas Kemenangan, Berdasarkan Dinasti

Satu pengecualian terhadap temuan kami menyangkut peran petahana. Gambar 5 menunjukkan bahwa, setelah menjabat, kandidat yang lebih miskin memperoleh hasil yang hampir sama dengan rekan mereka yang lebih kaya—meskipun masih ada sedikit kerugian elektoral. Untuk menyebutkan angka konkret, 40% petahana yang berpenghasilan Rp10 juta per bulan memenangkan kontes mereka, dibandingkan dengan 60% petahana yang berpenghasilan lebih dari Rp30 juta per bulan.

Hubungan yang melemah antara kekayaan dan kemenangan di kalangan petahana kemungkinan berasal dari kemampuan mereka untuk menggunakan sumber daya negara demi keuntungan elektoral mereka, kaya atau miskin, begitu menjabat. Konsisten dengan interpretasi ini, non-petahana menunjukkan hubungan positif yang sama antara pendapatan dan kemungkinan kemenangan. Meskipun, begitu seorang kandidat non-petahana memperoleh lebih dari 30 juta per bulan, kemungkinan mereka untuk memenangkan pemilihan secara statistik tidak dapat dibedakan dari petahana.

Gambar 5: hubungan antara pendapatan kandidat dan kemungkinan kemenangan, berdasarkan status petahana

Kesimpulan

Data survei menggambarkan gambaran yang sangat jelas tentang peran kekayaan dalam pemilihan legislatif Indonesia. Kita telah lama mengetahui bahwa “uang itu penting”. Namun, hubungan yang kita ungkap di sini antara pendapatan, pengeluaran, dan keberhasilan pemilu bisa dibilang lebih dramatis daripada yang ditunjukkan oleh penelitian yang ada. Yang paling penting adalah bagaimana data ini menggambarkan keuntungan yang diberikan kekayaan kepada kandidat politik di atas karakteristik lain yang sering dianggap memainkan peran yang menentukan dalam kemenangan pemilu, seperti koneksi dinasti. Tidak diragukan lagi bahwa pola klientelisme yang mengakar dan partai politik yang kekurangan dana, selama dua dekade terakhir, telah menaikkan biaya politik dan menciptakan hambatan masuk bagi kandidat yang kurang kaya.

Terkait

Menjelaskan kemenangan telak Prabowo

Kemenangan Prabowo dimungkinkan oleh daya tariknya yang kuat dan dukungan yang diberikan Jokowi kepadanya.

Para analis kurang memahami dengan pasti apa artinya bagi kualitas demokrasi Indonesia jika lembaga perwakilan negara hanya dapat diakses oleh orang-orang yang sangat kaya. Di satu sisi, beberapa karya klasik tentang latar belakang politisi menunjukkan bahwa kelas sosial tidak banyak memengaruhi jenis hal yang mereka lakukan saat menjabat—terutama dalam konteks di mana terdapat sistem partai yang terprogram kuat sehingga tindakan politisi dibatasi dan dibentuk oleh ideologi dan platform partai.

Di sisi lain, dalam sistem politik seperti Indonesia, di mana politik terprogram lemah, latar belakang kelas berpotensi lebih penting bagi perilaku politisi saat menjabat, apa yang menjadi prioritas mereka, dan jenis kebijakan apa yang mereka kejar. Data yang kami sajikan di sini menunjukkan bahwa ini merupakan jalur penyelidikan penting untuk penelitian di masa mendatang, mengingat hanya sedikit yang menunjukkan bahwa biaya politik yang meningkat akan segera pulih.